A Red House, Blue House, and Green House
"If a red house is made of red bricks and blue house is made of blue bricks.
What is a green house made of?"
---Mac Taylor, CSI: NY-Death House---
Then----
Gadis cilik itu berlari kecil, menuruni bukit seraya masih tertawa riang. Rok merahnya tertiup angin dan berkibar seiring dengan langkah kecilnya yang cepat. Tangannya kukuh memegangi topi jerami di kepalanya yang nyaris tertiup sang bayu. Di belakangnya, pemuda cilik mengejarnya sambil masih tergelak, sisa dari gurau panjang mereka sebelum menuruni bukit masih saja terbawa dalam ingatannya. Dengan tangkas dikejarnya sahabatnya...
Mereka berhenti di sebuah rumah tua berdinding merah... bata merah mendominasi semua dindingnya... kusen jendela, pintu, hingga daun pintu, semuanya dicat putih bersih... begitu juga dengan pagar yang menglilingi rumah bergaya cape cod itu. Sebuah pinus tinggi menutupi sebagian jendela rumah tersebut, sementara harum pie apel berlarian dari dalamnya.
Si gadis cilik berhenti berlari... menunggu sahabatnya sampai di sampingnya. Ia menatap lekat rumah berdinding merah itu, dan tersenyum pada sahabatnya. "My grandma' house" bisiknya dengan bahasa Inggris sekenanya. Sahabatnya yang bermata biru menatapnya, kemudian mengalihkan pandangan ke sudut merah itu, kemudian nyengir sejenak "Apple pie?" Si gadis melepaskan topinya dan mengibaskan rambut hitamnya yang lebat. "Yup! Come on!"
Mereka menyantap pie apel itu dengan lahap, sembari sesekali meneguk es teh yang dibuatkan nenek gadis cilik itu dengan lahap. "Enak sekali!," bocah bule bermata biru itu terbata bicara dalam bahasa sahabatnya. Si gadis cilik tergelak dengan dialek aneh dan usaha keras sahabatnya. "Good!" dengan bahasa Inggris yang sama sekenanya dengan dialek Jawa. Mereka kembali terkekeh.
"Red house... one day, we'll meet in the blue house," ujar si bocah laki-laki dengan mulut belepotan saus apel. Si gadis cilik mengernyit sebentar, mencoba memahami... 'blue house?' bathinnya bingung. Lalu sejenak ia diam. Si nenek yang sejak tadi memperhatikan mereka dari kursi goyangnya, membaca kebingungan di wajah lugu cucuny. "Rumah biru, Lana." Lalu ia mengarahkan pandangan kepada bocah laki-laki itu. "Blue house? With blue bricks?" Si bocah menatap senang, "right, Granny!". Lalu sang nenek menjelaskan deksripsi singkatnya pada cucunya yang bengong. Sesaat kemudian pandangan bingung itu berubah cerah, "setuju!"
After --------
Bocah bule bermata biru itu tidak lagi berkulit pucat dengan bintik-bintik di sekujur wajahnya. Ia berubah jadi sosok pemuda tampan yang charming. Dan gadis cilik itu, tetap berambut hitam panjang... dengan wajah ayu khas gadis jawa berkulit kuning langsat.
"My blue house," melebarkan sebelah tangannya. "My first masterpiece. Karya pertamaku, rumah pertamaku, klien pertamaku" dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, namun masih dengan logat British yang kental. Sang gadis tersenyum bangga dengan kebahagiaan sahabatnya. "Warnanya seperti bendera Inggris, lengkap dengan pintu berwarna putih, dan dekorasi lampu merahnya," bisik sang gadis.
Pemuda itu mengalihkan pandangannya ke sang gadis, "I love my country... I love blue... and I love you." Sang gadis menatap sahabatnya, kekasihnya dengan pandangan bahagia. "But, I have to go, dear..." bisiknya tertahan. "Aku harus pulang. Kembali ke negaraku. My family in Indonesia," suaranya sangau. Dipeluknya kekasihnya lembut, "the next stop is green house, dear. I'll see you there..." terbata di antara air mata.
NOW ---
Pria bertubuh tegap dan kokoh itu tersenyum bangga, binar bahagia berpandar jelas di mata birunya. Dia sudah buatkan rumah hijau di sebuah sudut town house di tengah hiruk pikuk Jakarta. "Green house doesn't have to build of green brick," bisiknya bangga. Rumah modern minimalis yang ia bangun dengan tangan, desain, setiap pernik dan pondasinya ia cari sendiri... yang pasti yang terbaik. Di buat tanaman rambat berwarna hijau merambati setiap inci rumah putih dengan kusen dan daun pintu berwarna natural itu. Ia menunggu tahunan hingga setiap inci rumahnya tertutup daun mungil yang harus ia rawat, siram, pupuk, ganti media setiap hari, setiap 3 bulan. Dan hari itu, "My green house."
Ia mencari sang gadis, dan sang gadis tak kunjung datang... akan ada masa di mana tanaman rambat itu tidak lagi bersemburat hijau... karena teriknya Jakarta... karena ia sibuk dengan profesinya sebagai arsitek asing terkemuka. Ia merenung, "its no longer green house... without my lovelly lady."
AFTER---
Sebuah surat membawanya mendaki sebuah bukit di kawasan Puncak. Masuk jauh ke dalam, hingga ia terpaksa meninggalkan mobil mewahnya di jalan setapak yang tak lagi muat dijajah Toyota Fortuner TRD-nya yang bongsor. Umurnya tak lagi muda, hingga nafasnya kerap tersengal. Mata birunya mulai berair. Kulitnya mulai pucat, rambut coklat nya mulai ditumbuhi derai abu-abu.
Sebuah surat membawanya mendaki sebuah bukit di kawasan Puncak. Masuk jauh ke dalam, hingga ia terpaksa meninggalkan mobil mewahnya di jalan setapak yang tak lagi muat dijajah Toyota Fortuner TRD-nya yang bongsor. Umurnya tak lagi muda, hingga nafasnya kerap tersengal. Mata birunya mulai berair. Kulitnya mulai pucat, rambut coklat nya mulai ditumbuhi derai abu-abu.
Ia sampai di sebuah rumah kaca.
Di dalamnya berbagai bunga bunga khas Inggris bertebaran, mengingatkannya pada musim semi di negara kelahirannya. Tampat ia pertama kali bersua dengan gadis cilik bermata dan berambut hitam kelam. Pertama kali ia berteman, bersahabat, jatuh cinta, dan akhirnya berjanji untuk mencarinya di Green house.
Daffodil aneka warna bertebaran... daffodil kuning mengingatkannya pada bunga yang tumbuh rapi di antara jendela rumah nenek gadis yang dicintainya. tempat ia selalu dengan nakal, menginjak-injaknya demi memanjat jendela dan mengambil potong terakhir pie apel yang disembunyikan nenek di sana.
Di sudut lain ada cherry blossom... bunga yang ia tanam di "blue house" nya. Master piece pertamanya. Di sampingnya dulu mereka mengikat janji untuk bertemu di next stop, green house.
Hingga pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang tengah memilah putik cammomile kering. Dihampirinya gadis yang menatapnya menyelidik.
"Mr. Barnes?" tanyanya ragu. Pria itu mengangguk sopan, "George... just call me George. Anda yang mengirimkan surat untuk saya?" Gadis muda itu mengangguk. "Anda sangat fasih berbahasa Indonesia?" "Saya sudah lebih dari 7 tahun di Indonesia."
Gadis itu dengan santun mengajaknya keluar. Mengajaknya berdiri di bawah beringin besar yang cukup jauh dari rumah kaca yang indah itu. "Saya Hanum. Saya putri bungsu adik perempuan Lana Pranoto," ujarnya memperkenalkan diri, tanpa melepaskan pandangan dari rumah kaca. "Akhirnya saya bisa menemukan Anda, walau mungkin sedikit terlambat." Lelaki paruh baya di hadapannya masih tercenung, "Lana Pranoto?!"
"Where's she? I'm searching for her...," gadis muda itu menatapnya nanar. Menghentikan gegap gempita suaranya. "Ini adalah peninggalan Bude Lana untuk Anda, Mr. George."
"Tapi saya sudah buatkan dia istana hijau kami..." bisiknya pria itu setengah lemas.
"This is the green house..." bisik Hanum.
"Ah, green house doesn't made of green brick. Green house made of glass," ia habiskan sorenya dengan menangis.
Lana tak pernah berpaling. Ia buatkan green house... dan menunggunya di sana. Seperti janjinya. Sebagai balasan jerih payahnya membuat "blue house" ketika menyatakan cinta.
[Cinta adalah soal soal memberi... dan menerima]
Komentar
Posting Komentar