Fragmen Hidup
In order for the light to shine so brightly, the darkness must be present
--Sir Francis Bacon--
Jam masih menunjukkan pukul 17.56 WIB... janji temuku baru bisa terlaksana jam 20.00 WIB.
Saya melangkahkan kaki ke dalam sebuah restoran sushi... sesekali ingin bertempur dengan ikan mentah sendiri saja.
Duduk di sushi bar, dengan sumpit di tangan... bersiap menangkap mangsa tujuan saya... hup! kani mayo tobiko maki, nigirizushi salmon dan salmon belly... dan ah, itu dia! sashimi salmon... tangan saya menggapai piring gold itu bersamaan dengan tangan wanita yang duduk di samping saya. Kami sama-sama tersenyum... dan berbarengan berkata "silakan, duluan!", lalu terkekeh geli.
Sama denganku, ia juga solois... makan sushi sendirian di Jum'at malam. Berbeda denganku yang bermaksud membunuh waktu dan ingin ber"carpe diem"... ia menjadikan sushi sebagai kebahagiaan pribadi karena pacaranya tidak datang-datang menjemput. "Ngakunya macet, mbak!" keluhnya. "Memang Mbak tidak percaya klo memang macet?" sambil menelan potongan terakhir salmon belly-ku. Dia cuma geleng-geleng, melemparkan sashimi salmon yang kesekian ke dalam mulutnya, tanpa sungkan.
Kami ngobrol ngalur-ngidul hingga sama-sama menghabiskan 5 piring dan bergelas-gelas ocha dingin. Kami lalu sama-sama berdiri, berpisah, tanpa merasa harus bertukar no hp atau fb, saling mencium pipi kanan-kiri, mengucap terima kasih u saling menemani... dan berpisah di depan gerai sushi.
Aku berjalan semangat menyeberang jalan, kembali ke tempat temu janji.
Ah, masih lama! Masih 1 jam lagi.
Pak satpam, pria paruh baya yang bertubuh kecil memanggilku, "Neng, masih lama lho! Duduk sini aje." Ia pindah duduk ke bawah, menyediakan tempat di bangku panjang yang hampir terisi penuh.
Aku menatapnya sejenak, "makasih, pak. Boleh duduk di sini saja sama Bapak?" Kuletakkan tas ku di atas aspal, dan duduk bersila di sebelahnya. Si Bapak bengong sesaat, "kotor lho..." Aku hanya mesem.
Ia mulai berkisah tentang hidupnya... keluarganya... gaji yang diterimanya sebagai satpam di koramil itu. Betapa beratnya beban ekonominya.
Saya sempatkan mentraktir beliau sepiring nasi goreng yang dimakannya dengan sangat lahap. Ia bahkan berkeras menolak tawaran teh botol dan hanya meminta segelas air putih dari pedagang nasi goreng. "Gak usah, neng. Nasi gorengnya saja... enak lho! Eneng gak mau?" saya hanya menggeleng. "Buat Bapak saja" sambil senyum simpul.
Melihat betapa si Bapak lahap sekali memakan onggokan nasi goreng seharga lima ribu itu, aku jadi mengingat nilai yang harus kubayar untuk makan malamku tadi. Dan aku jadi malu sendiri.
Aku bersyukur diberi waktu untuk melihat dan merasakan betapa tingginya jurang kehidupan manusia.
Dan kali ini, untuk kesekian kalinya aku kembali bersyukur dan berterima kasih, karena memiliki berbagai kemudahan dan kekayaan dalam hidup ini.
Yah, aku sangat beruntung. Thanks God :)
Komentar
Posting Komentar