LIFE IN MOTION PICTURE Chapter 1
In the end it's not the years in your life that caunt. It's the life in your years =Nietzsche=
Gadis cilik berambut ikal itu duduk termangu di bangku kelasnya. Ditatapnya langit-langit kelas yang tinggi, interior yang mengingatkan pada desain rumah sakit jaman Belanda yang biasa ia tonton di TV tentang kisah-kisah perjuangan. Belum ada yang datang seperti biasa... ia selalu jadi peng-absen nomor satu.
Masih hangat dalam ingatannya ketika ia pertama kali memasuki ruang kelas ini... 3 tahun yang lalu... seperti baru kemarin.
Ia termangu melihat betapa besarnya kelas itu, dua kali luas kelasnya di Palembang, dan muridnya hanya setengah dari murid di kelasnya yang lalu. Bukan hanya itu... sekolahnya kali ini luar biasa mewah. Ada fasilitas kesehatan sekelas dengan rumah sakit, di mana ada suster-suster berpakaian serba putih, para guru yang berpakaian sangat rapi, auditorium yang bisa dijadikan bangkar penampungan kalau ada perang.
Belum lagi LAPANGAN... setengah mati ia harus menghapal di mana saja letak lapangan untuk masing-masing jenis kegiatan. Lapangan upacara yang menghadap ke sungai, hanya dibatasi oleh semak bambu yang setiap pagi selalu dirindangi oleh embun. Hijau dan lapang, katanya merangkap fungsi sebagi lapangan sepakbola, softball, dan baseball (apa itu? yang ia kenal hanya kasti). Tak jauh dari sana ada lapangan kecil (dibanding lapangan luas tadi, jadi terasa kecil)... lapangan voli. Bergeser sedikit kearah utara, ada lapangan berunduk-unduk, lapangan pramuka (astaga?!?).
Terpisah oleh kantin yang luasnya lebih besar daripada persatuan 20 kedai mpek-mpek yang biasa ia makan di Palembang, lengkap dengan tempat makan yang dinaungi pohon beringin berusia ratusan tahun (kata siswa kelas 6 yang mengantarnya berkeliling sekolah). Belum lagi 2 lapangan basket yang menghadap langsung ke deretan ruang kelas. Jauh di pojok terdalam, di dekat auditorium... ada lagi lapangan bulu tangkis. Banyak amat sih?!
"Wah, jangan lupa menghitung fasilitas siswa SMP yang ada di sebelah, dan lapangan yang lebih luas daripada alun-alun kota di depan sekolah itu," kata Kakak kelasku sambil nyengir. Intinya, sekolahku hebat! Sampai ada ruang tunggu jemputan segala.
Teman-temannya juga luar biasa... kebanyakan adalah anak-anak pegawai perkebunan di sekitar sini. Tapi jangan bayangkan mereka kampungan ya! Mereka jauh dari sosok itu, mereka ganteng-ganteng dan cantik-cantik... dan cukup berada. Mereka juga pintar dan rendah hati. Seperti umumnya anak SD yang bahagia, kami sering menghabiskan waktu bersama di sekolah... menghabiskan pagi sebelum sesi upacara atau senam pagi dengan mengumpulkan embun atau sekedar bercanda sambil mendengarkan gemuruh air sungai nun di bawah sana.
Bercanda di kelas, belajar serius, berlarian ke ruang rekreasi untuk sekedar minum air bila haus, main boneka kertas sambil menunggu jemputan, atau main kelereng, atau main engklek di lapangan voli. Kami juga akrab dengan berbagai olah raga, softball, basket, voli, bulu tangkis jadi terasa tak awam bagi sosok-sosok kecil kami.
Dan hari ini, gadis cilik itu harus meninggalkan sekolahnya yang indah. Gurat kesedihan terpancar jelas di wajahnya. Ia baru sebentar berkawan dengan teman-teman barunya, dan kini ia harus pergi lagi... ikut Papanya yang pindah tugas.
Tangisnya pecah ketika Lily, sahabatnya yang sangat pendiam mengembalikan buku kenangannya. Semakin meradang ketika Riska bilang akan minta izin papanya agar diizinkan menelpon ke Surabaya sesekali. Semakin keras lagi, ketika Dodi meledek wajah tangisnya yang mirip panda. Bu guru berusaha menenangkan tangisnya sambil membelai lembut rambut ikalnya. "Ibu pasti kangen sama kamu. Salam ya buat teman-teman barumu di Surabaya," bisik Bu Guru lembut... isak tangis kecil mulai sorak-sorai di belakangnya. Ia berbalik dan menatap teman-temannya yang sibuk mengusap airmata bercampur ingus.
"Aku benci perpisahan..." bisiknya lirih.
Komentar
Posting Komentar