Carpediem (Seize the Day): Kesabaran, Memberi, dan Kerja Keras.
Kindness is doing what you can, where you are, with what you have
Saya adalah seorang introvert, dengan tingkat introvert 98% kalau kata 16Personalities. Walaupun si Mediator-INFP ini tentu saja bisa jadi tidak pernah punya masalah dengan komunikasi karena selalu bisa "membaca ruang" tempatnya berada, saya pun demikian. Tapi... setiap kali menginjak pagar meninggalkan rumah, saya perlu melakukan banyak ritual. Harus tiba 1 jam sebelum jam janjian, tahu nanti harus berhadapan dengan siapa, siap dengan kondisi yang akan ditemui, dan untuk alasan apa. "Mendadak" jelas bukan nama tengah saya. I hate it! Karenanya duduk manis di rumah tidak pernah terasa membosankan. Atau jalan-jalan sendirian bukan hal menakutkan.
Well, hari ini tentu saja bukan salah satu hari yang memungkinkan buat saya mendekam di rumah. Ada janji meeting, dan meeting-nya agak "tidak biasa". So here I am... keluar dari rumah tepat 2.5 jam sebelum jam yang ditentukan dengan estimasi ketibaan 1.5 jam kalau kata Gmaps. Duduk manis di boncengan Pak Goje* dengan playlist "In and Out" menyalak melalui TWS.
Pak Goje* yang membawa saya bertubuh besar, tegap, dengan motor yang lumayan besar juga. Tidak banyak bicara (well, good for me). Hanya menyapa ketika datang, menyerahkan helm yang terlihat sering terpapar panas, tapi tidak berbau. Hanya bertanya "sudah, mbak?" ketika saya sudah duduk manis di belakangnya. Lalu selama perjalanan, tidak ada percakapan, dan saya sibuk menggumamkan lirik yang saya dengar.
Pak Goje* jelas pengemudi yang baik, karena ia bisa menyalip dengan halus dan tidak banyak ngerem. Tapi kecepatannya agak mengkhawatirkan buat saya. Tapi ya sudahlah, kapan lagi bisa menikmati Selasa pagi yang cukup lengang di Jakarta.
Lengang?! Saya tarik kata itu sampai kami tiba di menjelang lintas layang Kampung Melayu. Mendadak kemacetan kusut menghadang. As simple as karena jalur paling kiri yang seharusnya untuk pengguna jalan yang menuju Stasiun Kampung Melayu dipadati kendaraan yang berebut naik ke atas. Kami sudah hampir melaluinya sampai mendadak ada motor menghadang, melintang di depan kami, keluar dari sebuah gang dan menutup jalan. Makian sarkas meluncur dari mulut saya, "luar biasa, pintar!" Tapi yang menarik Pak Goje* justru tanpak tenang dan santai menunggu dengan sabar.
Ini menarik buat saya. Bekerja di jalan Jakarta yang "keras" ini, biasanya kesabaran setipis tisu jadi lumrah karena kondisi yang panas, jalan macet, ketidaktertiban pengendara lain, sistem order ojeg yang seringkali aneh, dan lain-lain. Saya saja gemes kok sama tingkah pengendara motor tadi, tapi level sabar bapak Goje* jelas lebih tebal daripada saya.
Saya tiba di Halte Transjakarta tujuan saya lebih cepat dari perkiraan. Dan memutuskan karena alasan itu dan karena kesabaran Pak Goje* tadi beliau pantas dapat ⭐⭐⭐⭐⭐ dan tips. Saya beruntung diberikan kesempatan belajar satu level kesabaran dari beliau.
Let's roll! Berbeda dengan jalan yang agak lengang, Transjakarta jurusan Juanda tidak lengang sama sekali. Penuh sesak! Saya berdiri samping kursi yang diduduki seorang ibu paruh baya yang setengah tertidur, dan di samping perempuan muda berjaket pink. Tak lama, penumpang di depan mbak berjaket pink tadi turun, dan dia melongok kanan-kiri dan menawarkan duduk kepada seorang bapak paruh baya yang berdiri di belakangnya. Saya pikir mbak ini sebentar lagi hendak turun. Beberapa stops kemudian, bapak tadi bangkit dan beranjak. Ia kembali mencari orang yang pantas duduk di kursi itu lagi, dan menyerahkan kepada ibu paruh baya lain.
Dua stop menjelang tempat saya turun, ibu di depan saya bangkit. Karena merasa tanggung, saya tawarkan kursi itu kepada mbak berjaket pink tadi, yang tersenyum dan bilang "mbak saja, nanti saya di kantor juga duduk terus, jadi nggak papa." Wow!
Eh, mungkin ini bukan act of kindness yang terlalu bagaimana-bagaimana. Hanya saja, kalau dia mau duduk pun kan nggak akan ada yang rugi. Dia sudah berbagi sejak ia masuk ke bus, memberikan kursi yang seharusnya bisa ia pakai kepada orang-orang yang memang lebih tua darinya, bahkan ketika mereka jelas masih terlihat kuat.
Dan hari ini saya turun dari bus, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil mensyukuri bahwa saya bertemu dengan banyak orang baik sepanjang perjalanan. Perjalanan yang biasanya melelahkan, jadi terasa hangat dan menyenangkan pagi ini.
Setelah meeting berlalu dan memutuskan untuk pulang lewat arah yang berbeda supaya bisa makan siang mie ayam dulu, lagi-lagi saya berjumpa dengan orang baik.
Di meja sederhana berkapasitas 4 orang di bawah pohon ceremai, di depan gerobak bakmi coklat yang dipenuhi mangkok dan tidak henti bunyi orderan online, seorang bapak supir ojeg online duduk di depan saya. Wajahnya terlihat sangat lelah, keringat masih mengucur di keningnya. Saya sudah hampir selesai makan ketika mangkok mienya datang. Beliau menyapa saya, "makan, mbak". Saya pun mempersilakan beliau.
Karena kedai mie ayam sederhana ini cukup populer, saya pun bertanya kepada beliau yang asyik meracik sambal dan saos ke mie ayamnya. "Bapak sering makan di sini?" Jawabannya menyentuh hati. "Biasanya saya nggak makan, sayang uangnya. Tapi hari ini laper banget. Kebetulan pas lewat, mbak".
Masya'allah, pak. Untuk makan siang pengisi energi, beliau bilang "sayang uangnya". Saya menatap sedih sekaligus senang melihat beliau sangat lahap menyantap mie ayamnya. Membayangkan beliau biasanya lebih memilih menyimpan uangnya untuk dibawa pulang dan melewatkan makan siang, padahal pekerjaannya membutuhkan tenaga fisik berat, membuat saya tercekat dalam diam beberapa saat.
Kedai mie ayam semakin penuh, dan tempat duduk semakin langka. Saya pun berdiri dan menghampiri Pakde penjual, menyerahkan uang untuk membayar mie ayam saya dan bapak ojeg tadi. Pakde menengok dan menggamit si pak ojeg, "wis dibayari mbak e yo, mas", bahkan sebelum selesai menghitung biaya makanan kami. Si pak ojeg yang awalnya terlihat bengong kemudian menunduk dan berucap terima kasih kepada saya.
Setidaknya bapak tidak perlu mengkhawatirkan uang yang dibawa pulangnya kurang karena makan siang. Semoga rejekinya makin lancar setelah makan semangkok mie ayam yang enak made in Pakde.
Dan saya pun pulang dengan hati hangat, karena lagi-lagi saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang memenuhi harinya dengan kerja keras dan niat baik.
Komentar
Posting Komentar