Ajarkan Aku Menjadi Naif (Kisah Ksatria & Cintanya)
Ajarkan aku menjadi naif
Senaif dirimu yang masih bisa tertawa
Senaif kebahagiaan di alam kita berdua
Karena setiap detik di kala kenyataan mulai bersinggungan
Aku rasakan sakit yang nyaris tak tertahankan
Atau ajarkan aku menjadi penipu
Apabila ternyata kau merasakan sakit itu dalam tawamu.
(pg. 101)
Senaif dirimu yang masih bisa tertawa
Senaif kebahagiaan di alam kita berdua
Karena setiap detik di kala kenyataan mulai bersinggungan
Aku rasakan sakit yang nyaris tak tertahankan
Atau ajarkan aku menjadi penipu
Apabila ternyata kau merasakan sakit itu dalam tawamu.
(pg. 101)
na·if a 1 sangat bersahaja; tidak banyak tingkah; lugu (krn muda dan kurang pengalaman); sederhana: gambar-gambar -- penuh menghiasi dinding kamarnya; 2 celaka; bodoh; tidak masuk akal: -- nya, kerugian sebanyak itu hanya diganti sepertiga;
ke·na·if·an n perihal naif; keadaan naif: masyarakat Betawi banyak yg kecewa krn sinetron Betawi hanya mengeksploitasi keluguan dan ~ orang Betawi
(Sumber: http://kamus.sabda.org/kamus/naif)
ke·na·if·an n perihal naif; keadaan naif: masyarakat Betawi banyak yg kecewa krn sinetron Betawi hanya mengeksploitasi keluguan dan ~ orang Betawi
(Sumber: http://kamus.sabda.org/kamus/naif)
Sang ksatria menatap bulan... memuja keindahan gulita malam yang membingkai cahayanya yang berbinar terang. Ia turun dari kudanya, menuntunnya beberapa langkah dan menautkan tali pancangnya di sebuah batang pohon, serta membelai kuda hitam tegap itu sesaat. Ia berlalu beberapa langkah, melepaskan pedang dan tas perbekalan dari pundaknya, lalu merebahkan diri di atas rumput... kembali menatap langit.
Rambut sebahunya tergerai menyapu rumput, tak hirau akan kotor. Yah... ia adalah ksatria wanita. Yang membedakan ia dengan ksatria lain adalah jenis kelaminnya, gender! Selebihnya... ia merasa bahwa ia sama saja.
Ia masih saja mengagumi gurat indah cahaya sang bulan. Masih terpatri dalam ingatannya pelajaran IPA yang didapatnya di SD bahwa cahaya bulan tak lebih dari pantulan cahaya matahari yang disampaikan ke bumi bila bulan dalam posisi yang tidak sejajar dengan sang surya. Bulan sungguhnya pun tak punya cahaya, ia hanya satelit bumi... bulatan teroksidasi yang berputar mengelilingi bumi... dengan permukaan yang seperti jerawat batu meradang di sekujur wajah. Tapi siapa yang bisa berkata bahwa bulan itu buruk rupa, karena bila dilihat dari bumi, ia begitu rupawan... berbinar indah di antara hitamnya malam.
Tiba-tiba pikirannya berkeliaran... cahaya sang bulan mengingatkannya pada kekasihnya... cinta sejatinya. Entah di mana ia sekarang... dan sedang apa... apakah ia baik-baik saja... apa yang sedang ia pikirkan... apakah dia merindukan sang ksatria... apakah ia masih mencintainya... apakah ia masih sabar menunggu kedatangannya?
Sang ksatria wanita termangu... dalam diam, ia bertanya pada hatinya... mengapa ia selalu merindukan kekasihnya? apakah ia juga merasakan rasa yang sama? apakah rasa itu berbalas?
Mengapa ia begitu mencintai pria itu? Pangeran yang sudah nyaman dalam istananya yang megah... ia sudah nyaman dengan hidupnya sebagai pangeran di sebuah negeri makmur yang sentosa. Ia juga memiliki seorang kekasih, putri berwajah rupawan dan kaya raya.
Dan beragam mengapa dan apa berseliweran di benaknya... berlarian di antara diam yang mengusik malam. Di antara suara hening semilir angin dan gemericik gesekan daun dan batang.
Andai bisa... ia ingin berlari ke negeri sang kekasih... ia ingin menembus segala gerbang perbatasan... ia ingin meloncati parit penghalang... menjatuhkan semua prajurit yang menjaga istana kekasihnya... ia juga rela harus bersujud di kaki sang Raja dan Ratu... bahkan bila harus, ia rela melawan sang naga yang bersarang di bawah kastil... apa saja agar bisa memeluk dan mencium kekasihnya.
Tapi apa yang bisa ia lakukan?
----------------------------------------
Ia pernah masuk ke negeri itu dengan aman, dengan mengaku sebagai ksatria pengembara. Ia pernah bertemu dengan kekasihnya, bercakap dalam diam... hanya saling menatap, tanpa dialog. Tapi dari pandar tatapannya, ia tahu, sang kekasih masih setia. Sang pangeran masih mencintainya... dalam aneka keterbatasannya. Dan sang ksatria merasakan bahwa rasa kasihnya makin besar pada pria di hadapannya yang hanya bicara kaku... bagai kehabisan kata. Hingga waktu memisahkan, dan dengan berat hati, ia menunduk hormat dan berucap, "semoga suatu saat kita bisa bertemu dan berbincang lagi." Sang pangeran membalasnya, dengan menyentuh tangannya sejenak, ada getar kaku yang meraja di sekujur tubuh sang ksatria. "Yah, sampai jumpa lagi," bisik sang kekasih.
Ditatapnya kekasihnya hingga kejauhan... rasa bahagia meluap-luap bagai ingin tumpah ruah. Namun tak berlangsung lama... dari kejauhan, ia melihat kekasih sang pangeran datang menghampiri pujaan hatinya. Sepintas dilihatnya sang pangeran melirik sejenak padanya. Lalu langkah beratnya pergi sembari menerima gandengan tangan puteri cantik yang menatapnya penuh cinta.
Hati sang ksatria terenyuh... dalam sekejap kebahagiaannya berganti derita. Denyut tergores perih berteriak-teriak di sekujur tubuhnya... terutama hatinya. Ia tak tahu harus berbuat apa... dan lebih dari itu, tak tahu harus merasa apa.
Sang ksatria berkata dalam hati, 'wahai, pengarang novel Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Dee... kumohon, dengan doa yang sama seperti barisan narasimu. AJARKAN AKU MENJADI NAIF!! Agar aku bisa seperti ia yang masih bisa tersenyum... seperti ia yang masih bisa bahagia di dunianya... seperti ia yang seolah tak butuhkan aku...'
Layakkah cinta hidup semu laksana hantu?
Yang melayang bagai bulu panah?
Aku ingin menjejak tanah
Mengambang membuatku lelah
Aku ingin memiliki
Aku ingin diakui
(pg. 140)
-------------------------------
Ingatan sang ksatria kembali ke semburat kemilau sang bulan yang masih bersinar indah. Rasa sakit mengenang saat itu masih saja meraja dalam hatinya. Tanpa sadar, ia biarkan air matanya turun berderai. Sekali ini saja, dalam diam, dalam gelap, di antara sunyi, dan tanpa sepengetahuan siapa pun (selain kudanya yang sembari sibuk merumput, terkadang seolah ikut memahami duka tuannya... gelap dan dinginnya malam yang seolah melengkapi rasanya... serta KAU yang Maha Kuasa... karena memang tiada yang kusembunyikan dalam segala rentang hidupku). Ijinkan aku berduka sesaat saja...
Malam semakin larut... api unggun yang dibuatnya beberapa saat yang lalu masih menyala ganas. Hangatnya menyebar, menemaninya dan selimut hangatnya. Ia terlalu malas membangun tendanya... juga terlalu malas menyalakan petromak elektriknya. Kali ini saja, ia ingin bersatu dengan alam, yang sudah dengan sabar mendengarkan curhatnya.
Ia kembali mengingat kekasihnya... entah bagaimana caranya menghapus bayangan sang pangeran dari pikirannya. Rasanya tak akan bisa! Dia sudah terpatri dengan kuat di pikirannya, di hatinya, di jiwanya.
Ia teringat saat pertama kali ia bersua dengan sang pangeran... saat pertama kali mereka merasakan cinta itu hadir di antara mereka... detik yang sama saat mereka sadar bahwa cinta mereka terlalu mustahil untuk jadi nyata. Semua kebahagiaan dan kegundahan itu lebur jadi satu... hanya satu yang menguatkannya... cinta... cinta tanpa syarat yang ia berikan dengan utuh, tanpa terms and conditions, yang biasa ditandai dengan tanda bintang di belakang iklan komersil, lalu tersemat sekecil kutu di bagian pojok bawahnya.
Ia teringat janjinya kepada sang pangeran untuk setia dan akan tetap mencintainya hingga akhir hayatnya... dan sama halnya seperti rasa yang terpatri dalam di jiwanya... ada pesan Ayahandanya yang juga terpatri jelas dalam sukmanya, "ksatria tidak pernah ingkar janji!" Dan sang pangeran pun berjanji yang sama padanya.
Sang ksatria pun menguatkan hatinya... merapatkan selimutnya, dan beringsut tidur. Ia harus beristirahat. Perjalanannya masih panjang. Besok ia harus menempuh ribuan kilo lagi untuk menemui kekasihnya... cinta sejatinya. Ia bertekad untuk memperjuangkan cintanya... perasaannya... cinta mereka... kasih mereka... hidup mereka!
Ya! Ia harus!
----------------------------------
Akhirnya ia sampai juga di istana sang pangeran. Tidak banyak berubah dari kali kedua kedatangannya. Pertemuannya dengan sang kekasih yang menyisakan gurat sedih. Negeri ini masih saja nyaman... aman... sentosa.
Keramaian pusat negeri lebih dari kedatangan terakhirnya. Perdagangan dan industri di negeri ini sudah maju pesat, diperhatikannya mesin kasir yang tak berhenti berdenting di sebuah toko kelontong. Lalu di sebuah pojok nyaman, di antara keramaian itu, segerombolan pemuda-i duduk di sebuah cafe mungil. Tak jauh dari situ, ada loket penjualan berbagai makanan cepat saji berlogo huruf M berwarna kuning terang.
Sang Raja pasti sangat bangga dengan negerinya yang kian makmur ini, bisik sang ksatria dalam hati. Dan sang pangeran, kekasih hatinya, pasti sangat sibuk membantu Ayahandanya menjalankan roda kepemimpinan.
Beragam pikiran merajalela dalam benaknya, "masihkah ia mengingatku? Masihkah ia mencintaiku?"
Namun ia menguatkan hatinya... ia sudah memutuskan untuk menguatkan hatinya... untuk memperjuangkan cintanya... untuk tidak mengingkari janjinya. Dan sepertinya, kekasihnya juga berjanji... kekasihnya memang bukan ksatria, tapi dia pangeran! Kalau ksatria yang hanya rakyat jelata saja tahu bagaimana memperjuangkan janjinya, apalagi seorang pangeran.
Ia meninggalkan hiruk pikuk kota dan kehidupan kosmopolitannya yang menggiurkan. Ia memacu kuda hitamnya menuju kastil besar yang berada di sudut timur negeri. Begitu besarnya, hingga tanpa perlu kompas, ia bisa melihat kastil pencakar langit itu.
-----------------------------
Hari sudah beranjak sore ketika ia sampai di depan kastil itu, sesaat ia tercekat diam... kembali mempertimbangkan langkahnya. Bagaimana cara masuk ke dalam. Ia cuma ksatria wanita jelata dengan pakaian compang-camping, dan wajah lelah. Hartanya hanyalah sebilah pedang yang tersandar di punggungnya dan kuda hitam yang tengah dikendarainya.
Sepasang wanita paruh baya yang berlalu di hadapannya menyapanya ramah, "kamu kesasar?" tanya salah satu dari mereka. Entah bagaimana, suara sang ksatria seolah hilang karena terlalu lelah berkendara. Wanita yang satu lagi segera mengeluarkan sebotol air mineral dari kantung kainnya. "Minumlah, nak," sambil menyodorkan botol itu kepada sang ksatria. Ia hanya menurut dan meneguk pelan-pelan isinya.
Kedua wanita itu menatap kastil di hadapan mereka dengan tatapan sama takjub seperti dirinya tadi. "Pangeran muda kita itu luar biasa," ujar salah satu wanita itu dengan nada bangga seolah sedang membicarakan puteranya sendiri. Wanita yang memberinya minum mengangguk setuju, "negeri ini bisa berkembang pesat karena kecerdasan, karisma, ketegasan, dan kemampuan negosiasinya. Tak heran, malam ini dia akan dilantik menggantikan ayahandanya." Sang ksatria mulai tertarik, perlahan ia merapat kedua wanita tersebut.
"Calon permaisuri yang baru sepertinya lebih bahagia daripada pangeran kita. Yah, bagaimana tidak sih. Kalau dilantik jadi Raja kan ia dengan serta merta harus segera menikah dengan putri itu," kali ini muka sang ksatria tak urung pucat. Dua wanita tersebut masih saja asyik dengan gosip sore mereka, "yah, pangeran yang tampan... wajar sih menikahi putri yang jelita dan kaya raya itu. Pasangan serasi. Mana mungkin pangeran setampan dan sehebat itu mau melirik gadis-gadis negeri yang kerjaannya cuma bercocok tanam atau jaga toko di pasar."
ASTAGA!! Ini jelas cara menohok yang paling sukses, batin sang ksatria. Ia paksakan dirinya untuk mengucapkan terima kasih untuk air mineralnya, dan berpamitan. Ia berusaha tampak sebagaimana laiknya seorang ksatria yang kuat dan tak berhati.
"Tapi tidak mungkin! Dia kan sudah berjanji!" rutuk sang ksatria wanita dalam hati. Ini pasti paksaan, demi proses propaganda kerajaan. Demi keberhasilan negosiasi dan merger dua negeri. Dirunutkannya segala pemahaman politik kenegaraan yang selama ia kecap di mata pelajaran Kenegaraan yang diperolehnya di bangku SMA. Ya, ini pasti paksaan! Ia harus menolong kekasihnya, ia tak boleh berjuang sendiri mempertahankan cintanya... sang pangeran harus tahu bahwa ia masih memegang janjinya. Dan bahwa ia rela berkorban jiwa dan raga demi cinta mereka.
Dengan pedang terhunus, ia memacu kuda hitamnya masuk ke dalam kastil.
Singkat cerita dengan berkalang darah dan luka, ia berhasil menerobos kastil, mengalahkan para prajurit, hingga menjatuhkan sang naga yang menjaga kastil dengan tubuh raksasa dan semburan apinya. Itu semua dibayarnya dengan kehilangan salah satu harta terbaiknya. Kuda hitamnya tewas, terbakar kobaran api sang naga ketika berusaha melindungi ksatria cantik...tuannya yang mencintai dan mengasihinya seumur hidup itu. Ternyata berkorban darah dan luka, tak sebanding dengan berkorban air mata karena kehilangan harta, keluarga, sekaligus sahabat terbaiknya itu.
Ia menembus kastil... akhirnya... sekarang saatnya untuk menemui kekasihnya. Memeluknya... menciumnya.
Suara berang membahana dari balik pintu setinggi 3 meter di hadapannya. Suara baginda raja yang hendak mangkat. "Kamu pikir cinta saja cukup?! Kamu pikir negeri ini bisa maju cuma karena cinta!?! Anak b**oh!" Suara itu tertahan sejenak, tersengal. Sang Ksatria masih berusaha memahami makna suara itu tanpa bantuan visual.
"Tapi, Yah... saya tidak bisa menikahi wanita yang tidak saya cintai..." ia kenal suara itu. Suara kekasihnya... sang pangeran.
Suara dentum benda jatuh terdengar membahana menyusul beberapa saat kemudian, diikuti dengan suara penuh amarah sang raja yang semakin tinggi notasinya, "Jangan egois kamu!! Jangan cuma memikirkan diri sendiri!! Bagaimana rakyat negeri ini?! Bagaiman nasib relasi dua negeri yang selama ini sudah terjalin baik?!" Nada suara itu mendadak turun seketika... "Bila itu tidak penting untukmu, bagaimana dengan Ayah dan Bundamu ini? Apa kami juga tak penting untukmu? Apa kami kalah penting dibanding seorang ksatria wanita jelata yang tak tahu cara memimpin negeri seperti umumnya puteri?"
Sang ksatria terpekur... kekuatannya habis... lututnya seolah tak lagi dialiri kehidupan. Ia jatuh terduduk di balik pintu raksasa itu.
Ia tak perlu visualisasi... ia sudah paham situasinya... ia sudah tahu... dan mengerti sepenuhnya, sejelas menyaksikan film DVD di layar LED 52inc dengan format 3D.
Tak lagi didengarnya suara apapun... sang pangeran... sang kekasih... tak lagi bersuara... hanya ada derap langkah menaiki tangga... menjauh dan makin menjauh... suara langkah berat baginda raja yang sudah sepuh.
Ia tahu, bahwa itu bukan pilihan mudah bagi kekasihnya... bahkan pilihan yang paling bijak pun sudah ada d benaknya... ia tahu bahwa kekasihnya takkan bisa memilihnya. Tidak akan pernah... karena ia terkait dengan harkat-hidup orang banyak... rakyatnya, keluarganya, orangtuanya... dan semua tak cukup sebanding dengan dirinya... ksatria wanita jelata!
Ia tahu bahwa kekasihnya tidak akan egois... dan mungkin (salah satunya) karena itulah ia mencintai sang pangeran. Bukan karena alasan platonis, seperti karena ia pangeran, karena ia kaya raya, karena ia tampan, karena ia berkarisma, karena...
Bukan!!
Yah, ia mencintai kekasihnya karena hatinya memilih orang yang terbaik yang ia pernah kenal... bukan karena alasan apapun... selain itu. Karena cinta tak pernah memilih baik dan buruk... ia adalah rasa. Dan rasa tak kenal baik-buruk. Baik-buruk adalah monopoli pikiran.
Dan kali ini...
untuk pertama kalinya sang ksatria sadar... bahwa seharusnya memang tak perlu ada pilihan. Tak perlu mempersulit keadaan kekasihnya dengan pilihan. Ia mencintainya tanpa syarat... juga termasuk tanpa syarat harus memiliki.
Ia akan tetap memenuhi janjinya, ksatria tak pernah ingkar janji... tapi ia lepaskan sang pangeran dari janji... karena ia bukan ksatria. Karena sang ksatria rela janjinya berlalu seperti angin dan debu. Ia tak pernah butuh obligasi bernama janji... janji seharusnya dibuat untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.
Ia takkan pernah habis mencintai sang pangeran hingga akhir hayatnya... dan bila harus berkorban nyawa pun ia rela. Dan ia sudah hunuskan pedang, melawan prajurit dan naga... berkalang darah, luka, dan air mata. Dan makna terbesar dari hal itu adalah... cintanya lebih besar daripada apapun yang ada dan nyata... karena ia merelakan... karena ia mengikhlaskan kekasihnya... karena cintanya menembus batas pemahaman.
Bila cinta tak lagi bermakna berkasih dan bersayang, sejatinya cinta adalah memberikan yang terbaik bagi kekasihnya... menginginkan yang terbaik bagi kekasihnya... lebih dari dirinya sendiri. Karena cinta tak pernah bisa egois. Karena kebahagiaan kekasihnya adalah sejatinya kebahagiaannya sendiri.
Ia bangkit dan berdiri, menyarungkan pedangnya... dan melangkah gontai. Pergi dari kastil yang sudah ia dobrak dengan kekuatannya. Meninggalkan pangerannya... kekasihnya... dan hanya membawa pergi cintanya yang tak lapuk dimangsa waktu.
Di luar, ia menatap langit hitam... dan bulan yang entah bagaimana, kembali bulat penuh bersinar gemilang. Menyapanya dalam diam... hanya membingkiskan karisma cahaya terbaiknya... seolah mendoakan sang ksatria untuk tetap tegar melangkah... hidup dalam cinta sejatinya.
Karena cinta sejati, tak lekang oleh apapun... tidak juga oleh perpisahan... karena tiada bingkisan yang lebih baik dalam cinta... selain kerelaan untuk memberikan yang terbaik, melebihi cinta itu sendiri.
Lestari, Dewi (Dee), Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh. Jakarta: TrueDee Books. 2000.
fadma menyukai ini
BalasHapusTiba-tiba pikirannya berkeliaran... cahaya sang bulan mengingatkannya
mari berkeliaran ke
http://kopimiring.blogspot.com/
Thanks, Fadma :)
BalasHapusCahaya bulan mengingatkan pada apa ya? :)