Suatu Hari di Marcusuar

Hari ke hari berlalu perlahan... rasanya masih bisa kuhitung dengan percepatan angka waktu berlalu seiring dengan masa itu.

Hari ini masih seperti biasa.. aku bangkit dari tidur bejibaku dengan rutinitas umum, membuat secangkir kopi, dan naik ke marcusuarku.

Kembali menatap duniaku dari kejauhan.. sembari mendengarkan suara-suara merdu yang bersenandung pelan di MP3. Sesekali menyeruput kopi dalam gelas besar yang sudah kusiapkan untuk menemaniku menjaga marcusuar hari ini.

Kuhembuskan nafas dalam.. marcusuarku tetap tenang dan landai seperti biasa. Tidak juga ada gegap gempita di bawah sana... rupanya sahabat-sahabatku masih sibuk berlebaran.

Angin sepoi-sepoi menghembus di wajahku.. kutatap dua kotak di dua sisi berbeda yang tenang dijaga buritan panjang yang kubuat kokoh. Setiap kali ada bagian yang berlubang, bahkan hanya sebesar biji persik, akan kutambal dengan sepenuh hati.

Kedua buritan itu adalah dunia di mana kutitipkan sepenuh jiwa, hati, dan ragaku. Di sana ada dua cerita yang sama istimewa dan tak ingin kulepas. Karenanya, aku harus menjaganya dengan baik, agar tak koyak oleh badai, dan hempasan air laut yang bisa mengikisnya berlahan dalam diam.

Kupandangi buritan luas di samping kiri yang selalu tampak indah bila dipandang dari jauh. Di sana ada keriangan maha dahsyat, seperti playground Taman Kanak-kanak. Semua berjalan seperti seharusnya, seolah tak ada hambatan, masalah, atau apapun yang mengganggunya. Tapi sesekali aku harus memperhatikan lebih dalam pondasinya, entah bagaimana pondasinya tak sekuat yang kukira. Selalu ada saja detik di mana aku terlalu letih untuk terus menambalnya... tapi harus!

Lalu pandangan mataku beralih ke buritan di sebelah kanan... yang tampak semakin jauh terpindai dari marcusuarku. Kadang aku ingin lari ke sana dan melihatnya lebih jelas. Ingin menghabiskan masa seperti detik-detik lalu di mana jembatan kokoh itu masih bercokol di antara marcusuarku dan buritan itu.

Namun, detik lalu...beberapa saat sebelum hari penuh fitri, jembatan itu hancur dihantam badai. Dan aku tak punya cukup kuasa untuk membangun sesuatu yang di luar kemampuanku.

Ia masih  bertahan di kuadran itu, di lintang yang sama dengan sebelumnya, tak lebih dari upayaku untuk mempertahankannya supaya ada di sana. Karena aku takkan mampu hidup tanpanya, karena di sanalah telah kutitipkan sebagian jiwa dan hatiku. Aku tidak akan menarik lagi sesuatu yang sudah kuberikan, dan juga tidak menarik lagi apa yang sudah kutitipkan.

Ia boleh pergi ke mana pun ia mau dan mampu... bahkan menghilang dari dunia bernamaku di dalamnya. Tapi di dunia ini.. di marcusuar yang kubangun dengan hatiku, aku lah yang paling berhak dan tahu apakah aku mau dan mampu menghilangkan sesuatu yang sudah terlanjur ada.

Membiarkannya tetap di sana.. adalah pembuktianku bahwa hati manusia tidaklah kejam pada cinta. Bahkan ketika ia sudah tak lagi diinginkan. Aku akan buktikan bahwa cinta yang sudah telanjur ada dan dibangun tidak hanya dengan darah dan airmata, tidak akan semudah itu kandas hanya karena perpisahan. Some love last a lifetime, true love last forever.

Kubiarkan jembatan itu tetap patah.. bukan karena aku tak maau berusaha membangunnya. Tapi lebih karena aku tak mau dia yang sudah membuat keputusan itu terusik oleh keegoisanku. Dan tak ada cinta yang egois di buritan kanan itu. Ia begitu bersahaja, dan tanpa term and condition. Ia hanya ada karena diinginkan.

Dan yang bisa kulakukan hanya melihatnya dari jauh.. memantau keadaannya dengan satu-satunya cara yang aku tahu.. teleskop bintang. Di sana kadang yang kulihat hanya kata yang menggantung entah ke mana.. tapi itu lebih baik daripada tak tahu sama sekali.

Setidaknya aku tahu dia hidup, dia baik-baik saja, dia masih dalam rutinitasnya, dia... seperti seharusnya. Detik ini, ketika panggilanku tak terjawab... aku tahu dan sangat mengerti, bahwa aku juga tak berhak dan tak perlu tahu apakah dia baik-baik saja. Selama doaku masih bisa terpanjat, ketika setiap kali aku naik ke marcusuar dan melihat buritan kanan dan jembatannya yang patah... cuma doa yang bisa terpanjat.

"Semoga ia bahagia... semoga hidupnya sesuai dengan yang ia harapkan... semoga ia akan selalu tercukupi dalam segala cara... semoga ia selalu terlindungi... semoga ia tak lagi perlu merasakan luka... semoga cinta bisa memenuhi semua mimpinya... semoga ia tak lagi sendiri menanggung bebannya... semoga ia tak lagi diliputi keegoisan dunia... dan 1.000 semoga lain, yang tak terjabarkan dalam kata. Tapi aku yakin dalam doa... Ia, Yang Maha Kuasa... selalu tahu apa yang aku mau. Ia selalu mendengarkan dan mengabulkan doaku, walau aku tak bisa membisikkan semua doa itu langsung di telingamu."

Aku takkan pernah membangun jembatan itu dengan tanganku... karena aku tak mau merusak kebahagaiaan yang sedang kau bangun dengan sekuat tenaga.
Seperti seharusnya, aku menghormati keputusanmu...
Seperti seharusnya, aku tak mempertanyakan alasanmu...
Seperti seharusnya, aku hanya menjalankan bagianku... dengan atau tanpamu...
Seperti seharusnya, aku akan tetap hidup di jalanku...
Seperti seharusnya, aku akan ada di tempat dan cara yang sama yang selalu kau tahu tentangku...
Seperti seharusnya, aku hanya akan selalu membingkiskan doa terbaik untukmu...
Itu saja...
Kupandangi lagi buritan kanan itu dari jauh... menghembuskan nafas sejenak.

Lalu duduk di kursi panjangku...
Aku selalu percaya cinta tak pernah salah...
Aku selalu yakin akan selalu ada jalan...
Dan bila memang ini jalan yang terbaik... akan tiba saatnya di mana aku akan bisa tenang berkata, "aku melepaskanmu... untuk berbahagia"

Angin berhembus keras, membuat jilbabku melambai kencang di depan mataku... mengaburkan pandanganku.
Badai baru akan datang... yah, setiap hari selalu  ada badai...
Yang perlu kulakukan cuma mengawasi bahwa dua dunia ini akan selalu ada di tempatnya masing-masing...
Tak terusik oleh ruang dan waktu.
Semoga...

Komentar

Postingan Populer